Akhirnya harus pula melanjutkan rantai hidup yang ujungnya tak kentara. Meninggalkan kota ini setelah tujuh tahun -lebih bahkan- menggali, berjalan, menembus dan sesekali jatuh kelubang. Berbecek-becek dikubangan, berlarian ditengah hujan, tertawa, tersenyum, berulangkali menangis, berpagi hari dengan senyuman, berpanas-panas dengan kegetiran, mengakhiri setengah hari dengan senja yang warnanya begitu sendu. Bermalam dengan semangat baru dan evaluasi yang tak kunjung henti.
Disini, dikota yang dulu begitu sangat sederhana. Kota yang meski akhirnya tak kuat juga menahan gempuran isme yang saat ini sedang menggurita, mengaku dengan malu-malu meski tak pernah menunjukkan dengan sungguh-sungguh kalo sebenarnya ia sudah ikut terhanyut.
Disini, dikota yang pergumulan ide-ide berlangsung sangat rapih dan cenderung tidak segegap gempita ibukota. Tetapi menyimpan energi yang begitu dahsyat yang terjaga untuk tidak menimbulkan reaksi ledakan yang berantai. Kekuatan yang menjadikan atau kekuatan yang menghancurkan. Kekuatan yang tersimpan dalam heterogenitas manusianya.
Disini, dikota yang menampung berbagai manusia dinegriku, dengan segala pola pikir yang berbeda dan bermacam-macam bentuknya. Bersaing, bersinergi, berlawanan, bersaudara dengan terang-terangan atau hanya dalam hati. Menyediakan kesederhanaan dan merayu untuk ikut tercebur dalam proses itu yang sayang sekali untuk tidak dilirik dan bercengkerama didalamnya. Duduk disana, diam disana, bergerak disana, berputar disana, terlempar kembali oleh gaya sentrifugalnya, menerima efek inersia yang berlebihan dan terdampar kembali ditempat lain dengan senang hati, berkali-kali, berulang kali.
Disini, tempat bercengkerama dengan teman-teman yang sumringah dengan salah satu rambu dijalanan yang terbaca belok kiri jalan terus, atau berkumpul dengan saudara-saudara dikutub berlawanan dengannya yang menawarkan makna kesejatian dan perjuangan berbeda. Meskipun segregasi itu terlihat begitu menyederhanakan masalah.
Disini, ditempat yang gelaran akademis coba untuk didapat meski harus melompat dari satu tempat ke tempat lain, dari bangunan yang terlihat begitu menawan dan didambakan oleh banyak manusia dinegriku ke tempat yang mengajari dengan paksaan atas makna keikhlasan, usaha keras dan penyadaran.
Masih juga disini, bertemu dengan orang-orang aneh yang tidak diduga sebelumnya, terlihat biasa, diam-diam menyimpan kedewasaan. Berkumpul dengan banyak manusia, yang menyediakan ruang untuk menjadi guru dan murid tanpa diminta, mengajarkan perbedaan, merekonstruksi gagasan, mengarahkan fanatisme, mempertanggungjawabkan pilihan, mengenalkan perjuangan orang kecil, menjadi orang kecil, memberitahu kesusahan orang besar dan tidak layak menjadi orang besar. Menasehati sekaligus dinasehati, memberi pelajaran sambil terus belajar, mengkonstruksi-didekonstruksi, menjadi subjek sekaligus berperan sebagai objek, mencoba mengerti perbedaan dan memahamkan diri atasnya. Memercikkan nilai-nilai, kejadian-kejadian, dan kesimpulan-kesimpulan dan meng-hikmahi semuanya dalam bingkai yang tidak terlepas dari agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Disini ditempat yang komparasi dilakukan dengan sangat melelahkan untuk memilih tempat istirahat yang diimpikan, bergerak disana, kembali berproses disana sambil terus berdoa atas pilihan yang akan diambil ditempat berikutnya.
Alhamdulillah…Allah memilihkan kota ini sebagai salah satu terminal dari rangkaian fase hidup yang telah dijalani dan menyiapkan jalan dan pandang untuk merangkai matarantai selanjutnya.
Disini, tempat yang ikut pula menjembatani perubahan-perubahan dalam sejarah negriku, sejarahku.
Disini, pada sebuah entitas bernama Jogja.
[~ Reblogged from http://ngenolinego.wordpress.com ~]
Tulisan yang saya temukan dari blog Mbah Arif tentang Jogja, sedikit banyak mewakili perasaan saya terhadap kota ini.. 🙂
NB :
Thanks to Mbah Arif atas tulisannya dan foto Akang Burhan Bariton yang saya comot dari Twitter @kota_jogja 🙂
Pingback: Ibu Kota.. | senenkliwon